Sabtu, 24 Mei 2008

PETANI KULI DI LAHAN SENDIRI

Oleh Mukhamad Kurniawan

Bibit padi telah ditanam. Lahan garapan Harun (54) seluas 0,25 hektar telah dipenuhi padi jenis ciherang yang dibelinya dari bandar. Gabah hasil panen terakhir sebagian besar dijual untuk modal tanam. Ia bahkan harus berutang pupuk, pestisida, dan kebutuhan lainnya dengan sistem bayar panen (yarnen). Masa pinjaman empat bulan dengan bunga sekitar 16 persen. "Modal sering habis di awal untuk mengolah tanah, membeli benih, dan ongkos menanam. Kalau tiba-tiba butuh pestisida, ya, pinjam dulu, nanti bayar seusai panen," tutur petani di Desa Kutapohaci, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ini.

Seperti kebanyakan petani penggarap, sistem yarnen menjadi andalan untuk menutup kebutuhan produksi yang mendesak. Mereka bisa meminjam pupuk atau pestisida sesuai jumlah kebutuhannya.Namun, karena sistem itu, tak jarang petani justru kesulitan mengatur keuangannya. Ongkos produksi juga membengkak karena tanggungan bunga. Apalagi, jika panen gagal, utang pun menumpuk.

"Harga jual gabah beberapa musim panen terakhir memang tinggi. Namun, jangan salah, ongkos produksi dan harga barang kebutuhan juga melambung," ujar Uje (65), petani di Desa Cikalongsari, Kecamatan Jatisari, Karawang. Harga jual gabah kering pungut (GKP) memang relatif tinggi sejak beberapa musim terakhir, yaitu di kisaran Rp 2.000-Rp 2.300 per kilogram. Namun, hasil bersihnya dinilai masih minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi bagi petani dengan luas lahan di bawah 0,5 hektar.

Uje menambahkan, modal sebesar Rp 2,5 juta yang ia pinjam harus dikembalikan Rp 3 juta atau berbunga sekitar 20 persen. "Kalau melebihi tempo empat bulan, sesuai kesepakatan, bunganya dihitung lagi. Bebannya otomatis tambah banyak," tuturnya menambahkan.Sebagian besar petani di daerahnya menggarap sawah sewaan atau mengolah dengan sistem maro (bagi hasil). Sisanya menggarap lahan sendiri, tetapi kepemilikannya rata-rata di bawah 0,5 hektar. Lahan sawah di tepi jalan kabupaten atau jalan kecamatan—serta sawah yang mendapat pengairan cukup—disewakan Rp 3 juta-Rp 5 juta per bahu per tahun.

"Sekarang kebanyakan dengan sistem sewa daripada maro karena pemilik lahan tidak mau tahu dengan hasil panen. Penggarap masih untung kalau hasilnya bagus. Namun, kalau hasil panen sedikit, dia sendiri yang menanggung rugi," ungkap Uje.Pemilik modal dan lahan semakin untung, sedangkan petani tanpa lahan harus berspekulasi dengan situasi dan hasil panen. Adapun pemilik lahan minim, harus puas dengan pendapatan minim.

Menurut Uje, kalau harga gabah tinggi, cuacanya mendukung, atau serangan hama tidak banyak, petani bisa sedikit untung. Masalahnya kan harga pupuk, pestisida, dan lainnya tidak pernah turun, sementara harga gabah naik-turun tak tentu.

Melemahkan petani
Akibat tidak punya lahan, pemuda di sejumlah daerah di Karawang memilih bekerja di pabrik daripada bekerja di sawah. Menurut mereka, pendapatan dari bekerja di pabrik lebih pasti daripada dari sawah."Teman-teman seangkatan saya sebagian besar memilih kerja di pabrik. Hanya yang punya sawah luas yang sekarang bertani," ungkap Sayudin (21), pemuda warga Desa Rawagempol Wetan, Kecamatan Cilamaya Wetan, Karawang.

Pernyataan Sayudin mengisyaratkan bahwa profesi petani kini semakin dijauhi generasi muda, bahkan di daerah lumbung padi. Menurut dia, bertani belum menjadi pilihan yang membanggakan. Bertani masih identik dengan kotor, lelah, dan penghasilan rendah.Engkat Sukatma (65), Ketua Lembaga Pemberdayaan Petani Nelayan Karawang (LP2NK), menilai, minimnya minat generasi muda ke sawah salah satunya karena akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan petani.

Di samping itu, kebijakan pemerintah yang mengimpor beras atau menaikkan harga eceran pupuk pun terus berulang hampir setiap tahun. Belum lagi soal subsidi petani yang tidak tepat sasaran, tidak adanya jaminan harga gabah, serta sejumlah kebijakan yang melemahkan petani.

Akumulasi dari sejumlah situasi itu semakin menguatkan stigma petani sebagai profesi yang kurang menguntungkan. Wajar jika kemudian generasi muda menjauhi sawah. Atau bahkan petani itu sendiri yang meninggalkan profesi dengan menjual sawahnya.

Data dari Badan Agraria Kabupaten Karawang tahun 2004 menunjukkan, sejak tahun 1993 hingga 2003 tercatat penyusutan lahan sawah di Karawang mencapai 2.000,56 hektar. Rata-rata penyusutannya mencapai 181,87 hektar per tahun dengan porsi terbesar digunakan untuk pembangunan perumahan, yaitu sebanyak 54,6 persen, sedangkan 34,4 persen lainnya digunakan untuk pembangunan industri.

Tumbuhnya sektor industri di daerah lumbung padi dengan lahan pertanian sekitar 95.000 hektar itu dinilai berdampak pada penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2003, pekerja di sektor pertanian masih mencapai 41,9 persen dari total angkatan kerja. Namun, jumlahnya menurun menjadi 27,67 persen di tahun 2004.

Tidak serius
Adapun pekerja di sektor industri meningkat dari 19,75 persen di tahun 2003 menjadi 22,73 persen di tahun 2004. Demikian juga pekerja di sektor jasa yang meningkat dari 38,35 persen menjadi 49,6 persen.

Beberapa pengamat menilai timpangnya pembangunan sektor industri dengan pertanian mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah membangun sektor pertanian. Padahal, ketidakseimbangan akan menyebabkan salah satu sektor terpinggirkan, marjinal, dan semakin ditinggalkan.

Masalah irigasi, misalnya, perbaikan atau pembangunannya tak pernah sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Masalah lainnya, lahan pertanian terus menyusut. Pada saat yang sama, dari waktu ke waktu bangunan-bangunan pabrik, pertokoan, serta perumahan berdiri nyaris tanpa kendali.

Meski berfungsi vital bagi petani, kondisi saluran irigasi justru tidak semakin baik. Dampaknya, selain mengurangi pasokan air efektif ke sawah, masalah kekeringan saat kemarau dan banjir saat musim hujan, terutama di wilayah persawahan di pesisir utara Jawa Barat, selalu berulang setiap tahun.

Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Karawang mencatat, panjang saluran induk di Karawang mencapai total 480,813 kilometer serta saluran sekunder 78,978 km. Dari jumlah itu, sebanyak 30 persen di antaranya rusak berat, 30 persen rusak ringan, dan 40 persen dalam kondisi baik.

Adapun saluran tersier mencapai 320,36 kilometer. Dari jumlah itu, sebanyak 82 persen atau 262,69 kilometer di antaranya rusak, 55 persen rusak berat serta 27 persen rusak ringan. Adapun 18 persen lainnya masih baik. Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) dari daerah-daerah lumbung padi juga mengindikasikan bahwa bertani semakin tidak menguntungkan. Ironisnya, tak sedikit warga yang harus menjual lahannya untuk modal bekerja ke luar negeri.

Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Buruh Migran Karawang mencatat, sebagian besar TKI asal Karawang adalah warga dari desa-desa penghasil padi yang memiliki lahan pertanian luas. Desa-desa itu sebagian besar berada di daerah pesisir utara Karawang. Meski tidak ada jaminan sukses bekerja di luar negeri, menjual sebagian atau seluruh lahan miliknya untuk modal masih menjadi pilihan bagi sejumlah warga.

Tidak ada komentar: