Sabtu, 24 Mei 2008

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

NASIONAL KARAKTER BUILDING

Sudah jelas bahwa mental inlander complex yang mendera kita harus diberantas dengan nation character building. Istilah ini dipopulerkan oleh Soekarno pada jamannya yang sesungguhnya me-refer pada budaya asli bangsa kita: gotong royong.

Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan satu substansial dasar negara dengan 3 versi, yaitu: Pancasila, Trisila dan Ekasila (Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi - Ir Soekarno). Pancasila terdiri dari ketuhanan (religiositas), kemanusiaan (humanitas), persatuan (nasionalitas), kerakyatan (soverenitas), dan keadilan sosial (sosialitas). Trisila terdiri dari sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan. Sementara ekasila dimaknai sebagai gotong royong. Soekarno menyebutnya, “Dari Pancasila bisa diperas menjadi Ekasila.” Jadi gotong royong itu sebenarnya adalah Pancasila juga.

Seandainya hanya satu prinsip yang diminta, Soekarno mengatakan harus digali dari tujuan membangun Indonesia, yaitu “semua untuk semua.” Harus dicatat bahwa Indonesia didirikan bukan hanya untuk orang jawa saja atau untuk umat muslim saja, tapi Indonesia buat Indonesia. Kata yang diusulkan adalah kata Indonesia asli: gotong royong (Soekarno: Bapak Bangsa Indonesia - MM Darmawan, 2005).

Gotong royong bukanlah sikap kekurangberanian, kurang percaya diri, atau sikap tidak mandiri. Mengacu pada Indonesia Baru – Anand Krishna, 2005, gotong royong tidak selalu berarti orang-orang sekampung menyumbang ketika kita terkena musibah. Gotong royong juga tidak cuma berarti kita membantu tetangga memperbaiki atap rumahnya. Interpretasi-interpretasi seperti ini justru mengkhianati semangat gotong royong itu sendiri.

Mohon dicatat juga bahwa gotong royong juga berarti kita membantu tetangga kita memberdayakan dirinya, supaya ia mampu memperbaiki sendiri rumahnya. Gotong royong juga berarti memberdayakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak menjadi beban bagi tetangga kita. Hanyalah gotong royong seperti itu yang memiliki arti lebih dan memiliki makna yang lebih berarti (p4-5). Gotong royong berarti setiap anak bangsa berjuang bersama untuk memberdayakan dirinya masing-masing (p5).

Gotong royong tidak sama dengan amal-saleh atau dana-punia atau charity. Semua itu hanya menyuburkan benih-benih kelemahan dan ketakpercayaan diri dalam diri para penerima, dan keangkuhan dalam diri para pemberi (p5-6). Gotong royong berarti memikul bersama beban negara dan bangsa ini (p 6). Gotong royong tidak mengenal tangan di bawah atau tangan di atas. Seorang pemberi yang egois tidak lebih baik dari seorang penerima yang lemah (p8).

Gotong royong berarti bahu-membahu. Gotong royong berarti saling bergandengan tangan. Gotong royong adalah sebuah “kesadaran” bahwa kita semua adalah putra-putri ibu pertiwi. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, walaupun aplikasinya, pelaksanaannya, penerjemahannya dalam hidup sehari-hari bisa berbeda (p8-9).

Gotong royong adalah dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.

Penutup Pendidikan jelas tidak bisa ditinggalkan. Bukan melulu pendidikan ilmu-ilmu empiris seperti sains, budaya, ataupun bahasa; melainkan juga pendidikan karakter (character building). Kita memang sudah (dan sedang) menjalankan itu semua. Tapi apa benar semua sudah tepat, terarah, terukur, dan efektif? Kadang saya merasa kasihan karena seorang murid mengemban beban kurikulum terlalu berat. Pokoknya, murid harus tahu segalanya, karena toh tidak ada ilmu yang tidak berguna. Padahal, bukan itu esensi pendidikan yang sesungguhnya.

Kita juga sering lupa bahwa pendidikan juga tidak melulu dilakukan lewat sekolah, kampus, atau kegiatan non kurikuler. Pendidikan bisa dilakukan kapan saja dimana saja. Pendidikan bahkan bisa disebarkan dengan media apapun juga, termasuk blog. Jadi, sejatinya, kita semua juga bisa ikut berperan aktif dalam pendidikan bangsa ini.

Oh iya, jelas perlu waktu dan effort luar biasa untuk mengubah sikap mental ini. Resistensi terhadap status quo pun begitu kuat. Walau begitu, saya lebih menyikapinya sebagai sebuah langkah positif yang harus dipaksakan. Harapan tentu bergantung pada Anda, saya, dan kita semua. Susah kan mengubah pola pikir dan tindak tanduk bila kita saja nggak pernah sadar?

Tidak ada komentar: